Keong mas pada kolam, rawa, dan lahan
yang selalu tergenang termasuk sawah, didaerah tropik dan subtropik dengan
temperatur terendah 10˚C (Anonim, 2006). Hewan ini mempunyai insang dan organ
yang berfungsi sebagai paru-paru yang digunakan untuk adaptasi di dalam air
maupun di darat. Paru-paru merupakan organ tubuh yang penting untuk hidup pada
kondisi yang berat. Gabungan antara operculum dengan paru-paru merupakan daya
adaptasi untuk menghadapi kekeringan. Jika air berkurang dan tanah atau lumpur
menjadi kering, keong mas membenamkan diri ke dalam tanah, sehingga metabolisme
berkurang dan memasuki masa diapause. Fungsi paru-paru bukan hanya untuk
bernafas tetapi juga untuk mengatur pengapungan. Keong mas dapat hidup pada
lingkungan yang berat, seperti air yang terpolusi atau kurang kandungan
oksigen.
Introduksi keong mas dari habitat
aslinya di Amerika Selatan ke beberapa negara untuk berbagai keperluan menyebar
dengan cepat. Habitat yang kondusif bagi keong mas di daerah yang baru
mmenyebabkan populasi meningkat dan menjadi hama baru bagi tanaman padi. Keong
mas salah satu dari 100 spesies biota di tempat hidup yang baru dan paling
merugikan (Joshi, 2005). Invasi keong mas berkaitan dengan daya reproduksi yang
tinggi, kemampuan beradaptasi yang cepat dengan lingkungan, dan rakus makan
pada kondisi tanaman inang yang beragam, sehingga dapat mengalahkan
perkembangan siput atau keong lokal.
Keong mas yang ada di Indonesia
berasal dari Argentina . Pada tahun 1980-an keong mas menyebar dengan cepat
beberapa negara di Asia, atas campur tangan manusia. Secara biologi mustahil
keong mas dapat menyeberang dari Amerika selatan ke Asia . Awal introkduksi ke
negara-negara di Asia, keong mas digunakan untuk bermacam-macam tujuan. Di
Filipina, misalnya, Keong mas digunakan sebagai bahan makanan, sementara di
Indonesia dijadikan sebagai hewan hias pada aquarium.
Sampai tahun 1987, di Indonesia masih
ada keinginan untuk mengembangbiakkan keong mas sebagai komoditas ekspor.
Semula hewan ini dianggap tidak merugikan. Kemudian muncul polemik tentang
kemungkinan keong mas berkembang menjadi hama tanaman. Kenyataannya keong mas
telah menyebar luas di Sumatera (bengkulu, Jambi, Lampung, Pariaman, Riau),
Papua (Biak dan Wamena), Sulawesi (Bone, Makasar Manado, Maros, Palu dan
Pangkep), Kalimantan (Balikpapan dan Samarinda), Buton, Jawa, Bali, dan Lombok
(Hendarsih et al., 2006). Di Jawa Barat sampai tahun 1992 tidak
ditemukan keong mas di sawah dan hanya dipelihara di kolam. Sejak tahun 1996,
hama ini ditemukan menyerang tanaman padi pada lahan di 12 kabupten dan pada
tahun 1999 berkembang menjadi 16 kabupaten (Hendarsih, 2002). Luas areal
pertanaman padi sawah yang terserang keong mas baru tercatat secara resmi pada
tahun 1997, yaitu 3.630 ha. Pada tahun 2003 luas serangan keong mas mencapai
lebih dari 13.000 ha dan meningkat menjadi 22.000 ha pada tahun 2007
Tanaman padi rentan terhadap serangan
keong mas sampai 15 hari setelah tanam untuk padi tanam pindah dan 30 hari
setelah tebar untuk padi sebar langsung. Tingkat kerusakan tanaman padi sangat
bergantung pada populasi ukuran keong, dan umur tanaman. Tiga ekor keong mas
per m2tanaman
padi sudah mengurangi hasil secara nyata. Pada padi varietas Ciherang yang
berumur 15 hari setelah tebar, keberadaan keong mas dengan tutup cangkang
berdiameter 0,5 cm selama selama 13 hari hampir tidak menimbulkan kerusakan
pada tanaman. Keong mas dengan diameter 1,0 cm menyebabkan sedikit kerusakan,
sedangkan yang berdiameter 1,5 ; 2,0 dan 2,5 cm sudah menyebabkan kerusakan
berat pada tanaman sejak hari pertama dan pada hari ketiga kerusakan tanman
sudah mencapai lebih dari 97% (Hendarsih dan Kurniawati, 2005). Keong mas
berukuran panjang 4 cm lebih ganas, dapat merusak tanaman padi yang ditanam
pindah maupun tebar langsung.
Penggunaan pestisida kimia di
Indonesia telah memusnahkan 55% jenis hama dan 72% agen pengendali hayati. Oleh
karena itu diperlukan pengganti pestisida yang ramah lingkungan. Salah satu
alternatif pilihannya adalah penggunaan pestisida hayati tumbuhan. Pestisida
nabati adalah salah satu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan.
Tumbuhan sendiri sebenarnya kaya akan bahan aktif yang berfungsi sebagai alat
pertahanan alami terhadap pengganggunya. Bahan pestisida yang berasal dari
tumbuhan dijamin aman bagi lingkungan karena cepat terurai ditanah
(biodegradable) dan tidak membahayakan hewan, manusia atau serangga non sasaran
(Dishut, 2009).
Pestisida nabati merupakan salah satu
sarana pengendalian hama alternatif yang layak dikembangkan, karena senyawa
pestisida dari tumbuhan tersebut mudah terurai dilingkungan dan relatif aman
terhadap mahkluk bukan sasaran (Martono, dkk, 2004).
Pestisida botani adalah produk alam
berasal dari tanaman yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung
beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, fenolik dan zat-zat
kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke
tanaman yang terinfeksi berpengaruh terhadap system saraf otot, keseimbangan
hormon, reproduksi, perilaku berupa penolak, penarik, “anti makan” dan system
pernafasan OPT. Senyawa bioaktif ini dapat dimanfaatkan seperti layaknya
sintetik, perbedaannya bahan aktif pestisida nabati disintesa oleh tumbuhan dan
jenisnya dapat lebih dari satu macam (campuran) (Hidayat, 2001).
Beberapa jenis tanaman dapat bertindak sebagai
moluskisida nabati untuk mengendalikan keong mas (Nizmah, 1999). Pinang,
tembakau dan daun sembung juga efektif mengendalikan keong mas (anonym, 2006).
Tanaman
Pinang
Tanaman Pinang (Areca catechu L.)
umumnya ditanam di pekarangan, sebagai tanaman pembatas tanah (pagar) dan
dibudidayakan sebagai tanaman sela, bahkan kadang tumbuh liar di tepi sungai
dan tempat-tempat lain. Tanaman pinang dapat ditemukan dari 1 - 1.400 m dpl
(Anonimus, 2009).
Pohon berbatang langsing, tumbuh
tegak, tinggi 10 - 30 m, diameter 15 - 20 cm, tidak bercabang dengan bekas daun
yang lepas. Daun majemuk menyirip tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk
roset batang. Pelepah daun berbentuk tabung, panjang 80 cm, tangkai daun
pendek. Panjang helaian daun 1 - 1,8 m, anak daun mempunyai panjang 85 cm,
lebar 5 cm, dengan ujung sobek dan bergigi.
Tongkol bunga dengan seludang panjang yang mudah rontok,
keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan tangkai pendek
bercabang rangkap. Ada 1 bunga betina pada pangkal, di atasnya banyak bunga
jantan tersusun dalam 2 baris yang tertancap dalam alur. Bunga jantan panjang 4
mm, putih kuning, benang sari 6. Bunga betina panjang sekitar 1,5 cm, hijau,
bakal buah beruang satu.
Komposisi
Buah Pinang
Biji buah pinang mengandung alkaloid,
seperti Arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan
isoguvasine. Selain itu juga mengandung red tanin 15%, lemak 14% (palmitic,
oleic, stearic, caproic, caprylic, lauric, myristic acid), kanji dan resin.
Biji segar mengandung kira-kira 50% lebih banyak alkaloid, dibandingkan biji
yang telah diproses. Ekstrak etanolik biji buah pinang mengandung tanin
terkondensasi, tannin terhidrolisis, flavan, dan senyawa fenolik, asam galat,
getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang and Lee,
1996).
Spesifikasi simplisia tepung etanol biji pinang adalah;
dalam bentuk pewarnaan Tepung etanol biji pinang dominan berwarna coklat
kemerahan, rasa pahit, kental, mengandung kaloid, saponin, flavonoid, tanin,
polifenol, kadar abu kadar air, dan antrakinon (Anonimus, 2009). Saponin yang
terdapat pada tanamaN pinang tersebar di semua bagian tanaman dari akar batang
daun bunga dan buah, tapi bagian tanaman pinang yang terbanyak mengandung zat
saponin terdapat pada buah pinang (Wikipedia, 2009).
Saponin adalah suatu glikosida yang
mungkin ada pada banyak macam tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan
konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas
tanaman dan tahap pertumbuhan (Wikipedia, 2009).
Sifat-sifat Saponin adalah: 1. Mempunyai rasa pahit, 2.
Dalam larutan air membentuk busa yang stabil, 3. Menghemolisa eritrosit
(pembekuan sel darah merah), 4. Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi, 5.
Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidrok-sisteroid lainnya, 6. Sulit
untuk dimurnikan dan diidentifikasi, 7. Berat molekul relatif tinggi, dan
analisis hanya menghasilkan formula empiris yang mendekati. Toksisitasnya
mungkin karena dapat merendahkan tegangan permukaan (surface tension).
Dengan hidrolisa lengkap akan dihasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat
(hexose, pentose dan saccharic acid).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar